IFTITAH
Kenyataan umat Islam pada awal
millennium ke-3 ini adalah sebagai umat terpinggirkan, tertindas dan terjajah
hak-haknya. Hal ini menyebabkan sebagian anggota dari umat yang mempunyai
ghirah agama yang tinggi berbekal dengan ilmu yang diperolehnya mencari cara
yang tercepat untuk mengembalikan izzah umat, dengan niat berjihad mereka
melancarkan serangan-serangan terhadap seluruh kepentingan kekuatan kufur dan
syirik dalam bentuk pemboman titik-titik penting simbol kekuatan durjana.
Ijtihad fardi yang diikuti
dengan praktik dari sebagian anggota umat ini menambah coreng hitam dikening
umat sebagai "umat teroris", andai gelar ini di berikan karena
keiltizaman (komitmen) kita dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam dapat dipastikan tidak seorang muslim sejatipun yang
menolaknya bahkan diperintahkan meneror kekuatan syirik dan kufur dalam bentuk
I`dadul quwwah. Tetapi jika gelar ini dianugerahkan lantaran ijtihad fardi dari
sebagian umat yang perlu dikaji ulang, maka disini setiap individu umat harus
memberikan nasehat sesuai dengan kemampuan masing-masing.
﴿ إن أريد إلا الإصلاح ما استطعت ﴾
Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan semampuku (QS
Huud: 88)
KONSEP JIHAD DALAM ISLAM
1. Makna Jihad
Menurut bahasa: Kata jihad di dalam
bahasa arab, adalah mashdar dari kata:
جاهدت العدو مجاهدة وجهادا Yang merupakan turunan dari kata الجهد yang berarti: kesulitan atau kelelahan
karena melakukan perlawanan yang optimal terhadap musuh .
Makna Jihad Menurut Istilah: Dalam terminologi syar`i kata jihad mempunyai
beberapa makna:
Suatu usaha optimal untuk memerangi orang-orang kafir. Para fuqaha
mengungkapkannya dengan defenisi yang lebih rinci, yaitu: suatu usaha seorang
muslim memerangi orang kafir yang tidak terikat suatu perjanjian setelah
mendakwahinya untuk memeluk agama Islam, tetapi orang tersebut menolaknya, demi
menegakkan kalimat Allah.
Makna umum dari kata jihad dalam terminologi syar`i. Bila kata jihad
dimaksudkan untuk makna selain dari makna diatas biasanya diiringi dengan
sebuah kata lain sehingga konteks dari kalimat tersebut mengindikasikan makna
yang dituju dari kata jihad tersebut, ini berarti setiap kita menemukan kata
jihad dalam Al-Qur`an dan sunnah konotasinya adalah memerangi orang kafir
dengan senjata.
Usaha optimal untuk mengendalikan
hawa nafsu dalam rangka mentaati Allah atau lebih dikenal dengan (mujahadatun
nafsi), seperti makna kata jihad dalam sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam
المجاهد من جاهد نفسه في طاعة الله
Seorang mujahid adalah orang yang
mengendalikan hawa nafsunya untuk mentaati Allah [4]
Selain dua makna diatas adalah seperti makna kata jihad dalam
sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, ketika seorang pemuda meminta izin
beliau untuk berjihad dan beliau menanyakan, "Apakah kedua orang tuamu
masih hidup?", ia menjawab," Ya", beliau bersabda," ففيهما فجاهد
optimalkanlah baktimu terhadap mereka. H.R.Bukhari.
Opini Yang Salah Tentang Maksud
"Jihad Akbar"
Ada sebuah opini yang berkembang di tengah masyarakat Islam hampir
di seluruh belahan dunia Islam, bahwa jihad yang paling besar adalah jihad
melawan hawa nafsu (Mujahadatun nafsi) sedangkan jihad mengangkat senjata
melawan orang kafir hanyalah jihad kecil, biasanya ungkapan ini disertai dengan
menyitir sebuah hadist Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, sepulang
beliau dari sebuah peperangan melawan orang kafir,
قدمتم خير مقدم، وقدمتم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر، مجاهدة
العبد هواه
Kalian datang dari melakukan suatu
amal yang paling baik, dan kalian datang dari jihad kecil menuju jihad yang
lebih besar, yaitu: seorang hamba melawan hawa nafsunya.[5]
Opini ini perlu diberi catatan dari beberapa sisi:
- hadits yang dijadikan landasan opini diatas "mardud" didhaifkan
oleh banyak ulama hadist, diantaranya; Al Baihaqi, Al Iraqi dan As Suyuthi
dalam Al Jami` As Shaghir, dikarenakan seorang perawinya yang bernama Yahya bin
Al `Ala` seorang yang tertuduh sebagai pemalsu hadits seperti yang dijelaskan
Ibnu Hajar dalam "Taqrib at tahzib". [6] Jadi pembagian jihad
kepada; jihad ashghar dan jihad Akbar tidak mempunyai dalil yang kuat.
- Makna jihadun nafsi terlalu luas, sebagian orang memahaminya dengan
terminologi masing-masing, andai maksudnya membersihkan jiwa dengan zikir,
wirid-wirid khusus dan amalan-amalan sunnat tentulah jihad memerangi
orang-orang kafir lebih mulia disisi Allah, (Q.S. An Nisaa` :95-96)
﴿ وفضل الله المجاهدين على القاعدين أجرا عظيما .
درجات منه ومغفرة ورحمة وكان الله غفورا رحيما ﴾
Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang
yang tidak ikut berjihad dengan pahala yang besar. Beberapa derajat dari Allah,
maghfirah dan rahmat-Nya, adalah Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang
Namun jika yang
dimaksud dengan jihadun nafsi mengendalikan jiwa untuk selalu merealisasikan
tauhid, kafir terhadap thaghut dan komitmen dengan seluruh syari`at Allah,
tidak dapat diingkari bahwa jihadun nafsi adalah asas dan jihad memerangi
kekafiran merupakan salah satu hasil dari jihadun nafsi. Implikasinya bahwa
orang yang sukses dalam jihad memerangi orang kafir dengan meraih syahadah yang
dapat memberikan syafa'at untuk 72 orang anggota keluarganya dan kekal dalam
surga Allah hanyalah orang yang berhasil melewati fase awal jihad, yakni
jihadun nafsi.
Inilah makna ungkapan Ibnu Al Qayyim, " Manakala jihad memerangi
musuh-musuh Allah (orang-orang kafir) hanya bagian dari jihad nafsi dalam
merealisasikan tauhid … maka jihadun nafsi lebih diprioritaskan dari pada jihad
mengangkat senjata menumpas kekafiran. [7]
- Ungkapan "jihad akbar adalah jihadun nafsi" sering disalah gunakan
untuk mengecilkan peran orang yang memanggul senjata mengorbankan anak, isteri
dan harta benda demi tegaknya kalimat Allah, bahkan untuk melemahkan dan
menghalangi orang berjihad fi sabilillah, dengan mengatakan bahwa menyibukkan
diri dengan jihad akbar lebih afdhal, padahal andai kita mencermati dengan
seksama tentunya kita akan mengambil kesimpulan bahwa konsisten dengan jihadun
nafsi mengharuskan kita untuk berjihad fi sabilillah jika memang waktunya telah
tiba
Fase-Fase Di Syari`atkannya Jihad
Jihad salah satu
diantara ibadah yang dalam proses tasyri`nya mengikuti sunnah tadarruj (bertahap),
yang dapat kita bagi menjadi 4 fase:
a. Periode Mekah.
Dalam periode ini jihad dengan mengangkat senjata tidak disyari`atkan, yang
diperintahkan pada periode ini adalah jihad dengan menggunakan hujjah dan
argumen yang bersumber dari Al qur`an dalam menyampaikan risalah Islam kepada
manusia pada umumnya dan khususnya masyarakat Quraisy, Allah berfirman, (Q.S.
Al Furqan: 51-52)
﴿ ولو شئنا لبعثنا في كل قرية نذيرا . فلا تطع الكافرين
وجاهدهم به جهادا كبيرا ﴾
Dan andai Kami menghendaki, niscaya Kami utus di tiap-tiap negeri
seorang Rasul. Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan jihad yang besar
Ibnu qayyim berkata, "Allah telah memerintahkan berjihad
sejak periode Mekah dengan firman-Nya (Q.S. Al Furqan: 52) yang tentunya surat
Makkiyah, menghadapi orang-orang kafir dengan Hujjah, penjelasan dan
menyampaikan Al qur`an …" [8]
Bahkan ketika beberapa orang sahabat yang dipimpin oleh Abdurrahman bin `Auf
datang kepada Nabi mengeluhkan keadaan mereka sambil berkata,"Kami dahulu
berada dalam kemuliaan disaat kami masih musyrik, apakah kami menjadi hina
setelah kami beriman?!", Nabi menjawab,
إني أمرت بالعفو فلا تقاتلوا
Aku diperintahkan untuk mema`afkan, maka janganlah kalian
mengangkat senjata! [9]
Juga setelah selesai pembai`atan `Aqabah yang ke dua sebagian para
peserta yang datang dari Yastrib meminta izin dari Nabi untuk menyerang
penduduk `Aqabah dengan pedang, beliau menjawab, ""إني لم أؤمر بهذا aku
tidak diperintahkan untuk melakukan hal ini [10]
Dalam (Q.S. An Nisaa` :77) Allah mempertegas larangan mengangkat senjata di
periode Mekah, firman-Nya:
﴿ ألم تر إلى
الذين قيل لهم كفوا أيديكم وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة ﴾
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka,
"tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat!
Nushus diatas sangat jelas
bahwa selama periode Mekah jihad mengangkat senjata dilarang (hal ini telah
menjadi kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Qurthubi 2/347). Yang ada
hanya jihadun nafsi menanamkan aqidah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
sabar dan istiqamah menghadapi segala bentuk penindasan dari kaum kafir serta
yakin dengan janji Allah dan Rasul-Nya.
Tidak-disyaria`tkannya jihad mengangkat senjata dalam periode ini -yang dalam
pandangan kasat mata kebanyakan manusia juga termasuk sebagian sahabat hal itu
telah patut karena penindasan kaum Quraisy sampai pada titik diluar batas
kewajaran- tentulah mempunyai hikmah yang sangat dalam untuk keberlangsungan
dakwah islamiyah keseluruh penjuru bumi. [11]
b. Fase dibolehkan Jihad Qital dan belum difardhukan.
Setelah Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, menetap di sana
membangun sebuah negeri Islam yang berdaulat dan memiliki kekuatan, persiapan
dan peralatan yang dirasa cukup untuk menghadapi setiap gangguan, yang dilain
pihak kaum kafir Quraisy selalu melancarkan berbagai bentuk tekanan, maka Allah
membolehkan (bukan difardhukan) kaum muslim mengangkat senjata, membela dan
mempertahankan jiwa dan dakwah Islam dari segala bentuk penindasan, dengan
firman-Nya: (Q.S. Al Hajj: 39)
﴿ أذن للذين يقاتلون بأنهم ظلموا وإن الله على نصرهم
لقدير ﴾
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa
menolong mereka
c. Fase difardhukan jihad qital atas kaum muslim terhadap orang
yang memulai memerangi mereka .
Fase ini juga bisa dinamakan
dengan jihad difa` (berperang karena membela diri), yakni kaum muslim
diwajibkan mengangkat senjata memasuki medan pertempuran melawan setiap
kekuatan yang memulai menabuh genderang perang terhadap mereka, Allah
berfirman, (Q.S. Al Baqarah: 190-191)
﴿ وقتلوا في
سبيل الله الذين يقاتلونكم ولا تعتدوا إن الله لا يحب
المعتدين ﴾
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi
janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas
﴿ فإن قتلوكم فاقتلوهم كذلك جزاء الكفرين ﴾
Maka jika mereka memerangi kamu, maka bunuhlah mereka! Demikianlah
balasan bagi orang-orang yang kafir
Pada
periode ini sekalipun kaum muslim telah mempunyai kekuatan tetapi belum sanggup
memulai pertempuran menghadapi seluruh kekuatan kafir dan musyrikin, maka
dengan hikmah Allah, Dia tidak mewajibkan kepada hambanya untuk melakukan
penyerangan karena mereka belum mampu melaksanakannya.
d. Fase difardhukan jihad qital terhadap setiap kekuatan kufur apapun agama dan
ras mereka, sekalipun mereka tidak memulai berperang hingga mereka masuk Islam
atau membayar jizyah.
Setelah kekuatan kufur di kota
Mekah runtuh di tangan 10.000 orang sahabat yang dipimpin langsung oleh Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam, dengan ini berarti berakhirlah permusuhan kaum
Quraisy terhadap kaum muslimin dan manusia berbondong-bondong memeluk agama
Allah sehingga dakwah islam menjadi memiliki banyak pasukan dan peralatan serta
kekuatan, maka pada tahun ke-9 H Allah mewajibkan kaum muslim memerangi setiap
bentuk kekufuran dengan firman-Nya, (Q.S. At Taubah: 5 dan 36)
﴿ فإذا انسلخ
الأشهر الحرم فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم ﴾
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin
itu dimana saja kamu jumpai mereka
﴿ وقتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة ﴾
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka
memerangi kamu semuanya
Dan nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن
لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
Aku diperintahkan memerangi seluruh manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada
tuhan yang berhak diibadati selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah
HR.Muslim
Demikianlah jihad thalab (jihad memerangi setiap aral yang merintangi arus
dakwah islam) akhirnya difardhukan dan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam wafat kewajiban ini tidak berubah. Kemudian kewajiban jihad thalab
ini diteruskan oleh para khulafaur rasyidin dan para khalifah serta para
penguasa setelah mereka. Hingga akhirnya khilafah Utsmaniyah runtuh kurang dari
satu abad yang lalu dan kewajiban inipun terhenti sementara sampai kaum muslim
memiliki kembali kekuatan untuk menumpas segala bentuk kesyirikan dan
kekufuran.
Hukum jihad
Jihad memiliki beberapa hukum :
a. Fardhu `ain (wajib bagi setiap muslim) dalam beberapa kondisi;
- ketika seorang muslim telah berada dalam barisan pasukan yang sedang
menghadapi pertempuran, maka fardhu `ain bagi nya berjihad dan berdosa
meninggalkan medan, Allah berfirman, (Q.S. Al Anfaal: 45)
يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم فئة فاثبتوا
Hai orang-orang beriman apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka
tetaplah
﴿ يا أيها
الذين آمنوا إذا لقيتم الذين كفروا زحفا فلا تولوا هم الأدبار ﴾
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan
orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu mundur ( Al
Anfaal :15)
- bila musuh telah datang menyerang salah satu negeri muslim, maka
wajib bagi setiap penduduknya berjihad mengusir mereka. Jika musuh belum
tertumpas wajib `ain bagi setiap penduduk negeri muslim sekitarnya berjihad
hingga musuh keluar dari negeri tersebut. Allah berfirman (Q.S. At Taubah :123)
﴿ يا أيها الذين آمنوا قاتلوا الذين يلونكم من
الكفار ﴾
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang
berada disekitar kamu itu
Jihad ini disebut juga dengan jihad difa` (pembelaan diri)
- bila imam (pemimpin) memerintah seorang muslim untuk pergi berjihad, maka
wajib `ain baginya melaksanakn perintah tersebut, nabi shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda,
وإذا استنفرتم فانفروا
Bila kamu diperintahkan berjihad, maka pergilah berjihad
H.R.Bukhari.
b. Fardhu kifayah
Jihad thalab (memulai penyerangan terhadap sebuah negeri yang penduduknya tidak
beriman kepada Allah dan hari akhir) hukumnya fardhu kifayah, yang bila
dilakukan oleh sebagian kaum muslim terhapuslah dosa dari seluruh kaum muslim,
Allah berfirman, (Q.S. At taubah: 122)
﴿ وما كان
المؤمنون لينفروا كافة ﴾
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin pergi semuanya ke
medan perang
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
والذي نفسي بيده لولا أن رجالا من المؤمنين لا تطيب أنفسهم أن يتخلفوا
عني، ولا أجد ما أحملهم عليه ما تخلفت عن سرية تغزو في سبيل الله والذي نفسي بيده
لوددت أني أقتل في سبيل الله ثم أحيا ثم أقتل ثم أحيا ثم أقتل ثم Perlu digarisbawahi
bahwa hukum diatas berlaku manakala kaum muslim mempunyai negeri islam
berdaulat yang menerapkan hukum-hukum Allah dan dipimpin oleh seorang muslim
sejati serta memiliki kekuatan, peralatan dan perlengkapan yang dirasa mampu
untuk menegakkan jihad difa` maupun jihad thalab. Namun disaat kaum muslim
tidak mempunyai negeri Islam, para pemimpinnya mencampakkan hukum Allah dan
kekuatan serta peralatan perangnya tidak sampai seujung kuku kekuatan musuh,
maka hukum diatas tidak berlaku, bahkan lebih dari itu, kaum muslim dibenarkan
membayar upeti kepada musuh jika memang keadaannya menuntut demikian, hal ini
dijelaskan oleh para ulama mazhab [12].
Ibnu Taimiyah berkata,"
Kaum mukminin yang berada di sebuah negeri dan mereka tidak mempunyai kekuatan
(lemah) maka hendaklah mereka mengamalkan ayat yang memerintahkan tetap sabar
dan memberi maaf terhadap orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya baik
dari Ahlul kitab maupun orang musyrik, sedangkan kaum mukminin yang mempunyai
kekuatan maka mereka wajib mengamalkan ayat yang memerintahkan memerangi para
pemimpin kekufuran dan ayat yang memerintahkan memerangi ahlul kitab hingga
mereka mau membayar jizyah (upeti) dan mereka dalam keadaan yang hina
…[13]"
Hal yang senada dengan perkataan diatas yaitu perkataan Az Zarkasyi dan As
Suyuti bahwa bilamana umat Islam melewati masa dan keadaan yang sama dengan
masa dan keadaan periode Mekah maka sepatutnya mereka mengamalkan ayat-ayat
yang diperintahkan untuk sabar dan memaafkan dan terus mendakwahi setiap musuh
dengan cara yang sebijak mungkin.[14] Implikasinya
ayat-ayat sebelum ayat "saif" dalam surat At taubah tidak
dimansukhkan tetapi diamalkan manakala kondisi yang serupa terjadi pada umat
Islam.
Jihad terus berlangsung hingga akhir zaman
Jihad
sebagai salah satu dari sekian banyak kewajiban yang difardhukan Allah terhadap
hamba-hamba-Nya yang beriman, sudah menjadi keyakinan kita bahwa seluruh
syari`at itu terus berlangsung dan sangat relevan, kapanpun dan dimanapun
seorang muslim berada. Tidak satupun syari'at dimansukhkan setelah Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam wafat, berdasarkan dalil-dalil di bawah ini;
- sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yang diriwayatkan dari Imran
bin Hushain radhiallahu `anhu
لا تزال طائفة من أمتي يقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة
Senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran
selalu menang hingga hari kiamat. H.R.Muslim
- sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yang diriwayatkan dari Anas
bin Malik radhiallahu `anhu,
والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله
جور جائر ولا عدل عادل
Dan jihad terus berlangsung semenjak Allah mengutusku hingga akhir
umatku memerangi Dajjal [15]
Dari dua teks hadist di atas sangat jelas bahwa kewajiban berjihad tetap terus
berlangsung hingga akhir zaman.
- firman Allah swt ( Q.S. Al Anfaal: 39)
﴿ وقاتلوهم حتى لا تكون فتنة ويكون الدين كله لله فإن انتهوا
فإن الله بما يعملون بصير ﴾
Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama
itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
- firman Allah swt (Q.S. At Taubah: 33)
﴿ هو الذي أرسل رسوله بالهدى و دين الحق ليظهره
على الدين كله ولو كره المشركون ﴾
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk
(al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama
walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.
Dua ayat
di atas menjelaskan bahwa jihad harus selalu ditegakkan sampai tercapainya
tujuan yang diinginkan Allah, yaitu sirnanya
setiap kesyirikan dan kekufuran, dan tiada agama lain di atas permukaan bumi
kecuali agama Allah. Impilkasinya selagi kedua tujuan di atas belum tercapai
maka jihad harus terus berlangsung.
gkan bahwa jihad terus berlangsunmenjelas hingga akhir ya dalil ya Kuatn zaman
menyebabkan Imam At Thahawi dalam buku akidahnya mengatakan, "Haji dan
jihad terus berlangsung bersama para pemimpin kaum muslim yang adil maupun yang
lalim hingga terjadinya kiamat, dua kewajiban ini tidak pernah
digugurkan".[16] (tolong disusun dulu, bi)
Keberlangsungan jihad hingga akhir zaman ini tidaklah bertentangan dengan
realita umat islam saat ini yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan hal
tersebut, karena Allah swt berfirman (QS Al Baqarah : 286)
﴿ لا يكلف الله نفسا إلا وسعها ﴾
Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya
Saat kaum muslimin telah mempunyai kesanggupan untuk menjalankan
kewajiban jihad maka mereka berdosa jika meninggalkannya.
B. AHL AL-DZIMMAH
Dari
pengertian jihad di atas dipahami bahwa jihad adalah memperjuang Islam dari
ancaman orang-orang kafir. Setelah berjihad atau selama berjihad Islam mempunya
tata pergaulan sebagaimana yang akan dibahas dalam bab ini.
Dalam
hidup berdampingan dengan non muslim Islam mengatur tata hubungan dngan mereka.
Diantara non muslim tersebut adalah ahl al-dzimmah. Hukum orang musta’min pada
dasarnya sama dengan hukum ahl adz-dzimmah. Jika dia membutuhkan
pertolongan, misalnya jiwanya terancam, negara wajib melindunginya sebagaimana
negara melindungi ahl adz-dzimmah. Jika musta’min melakukan
kejahatan, dia akan dikenai sanksi sebagaimana ahl adz-dzimmah, kecuali
sanksi peminum khamr. Hal ini karena Darul Islam adalah tempat
diterapkannya hukum-hukum syariat secara tanpa pandang bulu, baik terhadap
orang islam, ahl al-dzimmah, maupun musta’min (An-Nabhani,1994:235)
Ahl
adz-dzimmah kadang disebut juga kafir dzimmi atau sering disingkat dzimmi
saja. Asal katanya adalah adz-dzimmah, yang berarti al- ‘ahd, bermakna
perjanjian. Ahl adz-dzimmah adalah setiap orang yang beragama bukan
Islam dan menjadi rakyat negara Khilafah (Daulah Islamiyah). Islam telah
menjelaskan banyak hukum tentang ahl adz-dzimmah ini. Bahkan di antara
ulama ada yang menulis kitab khusus mengenai hukum-hukum Islam yang berkaitan
dengan ahl adz-dzimmah. Misalnya Ibn Qayyim al-Jawziyah, yang menulis
kitab Ahkam Ahl adz Dzimmah.
Di antara hukum-hukum tersebut adalah:
1.
Ahl adz-dzimmah tidak boleh dipaksa meninggalkan
agama mereka guna masuk Islam. Rasulullah saw. telah menulis surat untuk
penduduk Yaman (yang artinya), “Siapa saja yang beragama Yahudi atau
Nashara, dia tidak boleh dipaksa meninggalkannya, dan wajib atasnya jizyah. (HR
Abu Ubaid). Hukum ini juga berlaku untuk kafir pada umumnya, yang nonYahudi dan
non-Nashara. Dengan demikian, ahl adz-dzimmah dibebaskan menganut akidah
mereka dan menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka.
2.
AhI adz-dzimmah wajib membayar jizyah kepada
negara. Jizyah dipungut dan ahl dzimmah yang laki-laki, balig,
dan mampu; tidak diambil dari anak-anak, perempuan, dan yang tidak mampu. Abu
Ubaid meriwayatkan bahwa Umar r.a. pernah mengirim surat kepada para amir
al-Ajnad bahwa jizyah tidak diwajibkan atas perempuan, anak-anak, dan
orang yang belum balig. Syarat kemampuan diambil dari firman Allah Swt. dalam
surat at-Taubah ayat 29 yang berbunyl ‘an yadin yang bermakna ‘an
qudratin. Maksudnya, jizyah diambil berdasarkan kemampuan. Bahkan,
bagi yang tidak mampu, misalnya karena sudah tua atau cacat, bukan saja tidak
wajib jizyah, tetapi ada kewajiban negara (Baitul Mal) untuk membantu
mereka. Pada saat pengambilan jizyah, negara wajib melakukannya secara
baik, tidak boleh disertai kekerasan atau penyiksaan. Jizyah tidak boleh
diambil dengan cara menjual alat-alat atau sarana penghidupan ahl dzimmah,
misalnya alat-alat pertanian atau binatang ternak mereka.
3.
Dibolehkan memakan sembelihan dan menikahi
perempuan ahl adz-dzimmah jika mereka adalah orang-orang Ahlul Kitab, yaitu
orang Nashara atau Yahudi. Allah Swt. Berfirman:
Makanan(sembelihan)
orang-orang yang diberi al-Kitab halal bagimu dan makanan (sembelihanmu) kamu
halal bagi mereka. Demikian pula perempuan-perempuan yang beriman dan
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi
Al-Kitab sebelum kamu. (QS Al-Maidah [5]:5)
Akan tetapi, jika ahl adz-dzimmah bukan Ahlul Kitab, seperti orang
Majusi, maka sembelihan mereka haram bagi umat Islam. Perempuan mereka tidak
boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Dalam surat RasuL saw. yang ditujukan kepada
kaum Majusi di Hajar, beliau mengatakan, “Hanya saja sembelihan mereka tidak
boleh dimakan; perempuan mereka juga tidak boleh dinikahi”
Sementara itu, jika Muslimah menikahi laki-laki kafir, maka hukumnya haram,
baik laki-Laki itu Ahlul Kitab atau bukan. Allah Swt. berfirman:
Jika kamu telahmengetahui
bahwa mereka adalah (benar-benar) wanita-wanita Mukmin, maka janganlah kamu
mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Tidaklah
mereka (wanita Mukmin) halal bagi mereka (lelaki kafir) dan mereka pun (lelaki
kafir) tidak halal bagi mereka (wanita Mukmin). (QS al-Mumtahanah [60]: 10).
4.
Boleh dilakukan muamalah antara umat Islam dan
ahl adz dzimmah dalam berbagai bentuknya seperti jual-beli, sewa-menyewa
(ijarah), syrkah, rahn (gadai), dan sebagainya. Rasulullah saw. Telah melakukan
muamalah dengan kaum Yahudi di tanah Khaybar, di mana kaum Yahudi itu
mendapatkan separuh dari hasil panen kurmanya. Hanya saja, ketika muamalah ini
dilaksanakan, hanya hukum-hukum Islam semata yang wajib diterapkan; tidak boleh
selain hukum-hukum Islam (an-Nabhani, 1994:237-240)
Demikianlah sekilas
hukum-hukum ahl adz-dzimmah yang menjadi rakyat Daulah Islamiyah. Mereka
mendapatkan hak sebagaimana rakyat lainnya yang Muslim. Mereka mendapatkan hak
untuk dilindungi, dijamin penghidupannya, dan diperlakukan secara baik dalam
segala bentuk muamalah. Kedudukan mereka sama di hadapan penguasa dan hakim.
Tidak boleh ada diskriminasi apa pun yang membedakan mereka dengan rakyat yang
Muslim. Negara Islam wajib berbuat adil kepada mereka sebagaimana berbuat adil
kepada rakyatnya yang Muslim