Selasa, 10 Januari 2012

Al Fatihah, Bacaan Shalat Paling Dahsyat

Bacaan Shalat
Al Fatihah adalah bacaan shalat yang amat dahsyat. Dalam fiqih tuntunan shalat, Al Fatihah merupakan bacaan shalat yang bersifat rukun. Teristimewa, Allah akan menjawab pada setiap ayat yang kita baca. Luar biasa, bukan…? 
Buktinya? Ini dia, firman Allah dalam hadits qudsi:
Nabi SAW bersabda, “Allah SWT berfirman: Shalat itu Kubagi dua antara Aku dan hamba-Ku. Untuk hamba-Ku ialah apa yang dimintanya.
Apabila ia mengucapkan Alhamdulillahi rabbil alamin, Aku menjawab: “Hamba-Ku memuji-Ku”.
Apabila ia mengucapkan Arrahmaanirrahiim,
maka Aku menjawab: “Hamba-Ku menyanjung-Ku”.

Apabila ia mengucapkan Maaliki yaumiddiin,
maka Aku menjawab: “Hamba-Ku mengagungkan-Ku”.
Apabila ia mengucapkan Iyyaka nabudu waiyyaaka nastaiin,
maka Aku menjawab: “Inilah bagian-Ku dan bagian hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang dimintanya”.
Apabila ia mengucapkan Ihdinashirratal mustaqim, shiratalladzina an’amta alaihim ghairil maghduubi alaihim waladhaalin,maka Aku menjawab:
“Inilah bagian hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang dimintanya” (HR Muslim).
Sungguh luar biasa, ternyata Allah langsung menjawab bacaan shalat kita… Terungkap sudah rahasianya, mengapa Rasulullah membaca Al Fatihah ayat-demi ayat (tidak menyambungnya), sebagaimana dikatakan dalam hadits:  “Kemudian beliau SAW membaca Al-Fatihah, beliau memenggalnya ayat demi ayat…” (HR Abu Dawud).
Alfatihah Bacaan Shalat
Sahabatku yang berbahagia… karena itu, untuk memaksimalkan bacaan Al Fatihah, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
- Membacanya ayat demi ayat (tidak menyambung)
- Memahami kandungan arti surat Al Fatihah, kata demi kata
- Mengetahui dan merasakan jawaban Allah pada ayat demi ayat yang kita baca
- Meyakini bahwa jawaban Allah akan segera terwujud buat kita

KONSEP JIHAD DALAM ISLAM


IFTITAH

Kenyataan umat Islam pada awal millennium ke-3 ini adalah sebagai umat terpinggirkan, tertindas dan terjajah hak-haknya. Hal ini menyebabkan sebagian anggota dari umat yang mempunyai ghirah agama yang tinggi berbekal dengan ilmu yang diperolehnya mencari cara yang tercepat untuk mengembalikan izzah umat, dengan niat berjihad mereka melancarkan serangan-serangan terhadap seluruh kepentingan kekuatan kufur dan syirik dalam bentuk pemboman titik-titik penting simbol kekuatan durjana.

            Ijtihad fardi yang diikuti dengan praktik dari sebagian anggota umat ini menambah coreng hitam dikening umat sebagai "umat teroris", andai gelar ini di berikan karena keiltizaman (komitmen) kita dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dapat dipastikan tidak seorang muslim sejatipun yang menolaknya bahkan diperintahkan meneror kekuatan syirik dan kufur dalam bentuk I`dadul quwwah. Tetapi jika gelar ini dianugerahkan lantaran ijtihad fardi dari sebagian umat yang perlu dikaji ulang, maka disini setiap individu umat harus memberikan nasehat sesuai dengan kemampuan masing-masing.

           
﴿ إن أريد إلا الإصلاح ما استطعت ﴾
Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan semampuku (QS Huud: 88)

KONSEP JIHAD DALAM ISLAM  
1.      Makna Jihad
Menurut bahasa: Kata jihad di dalam bahasa arab, adalah mashdar dari kata:
جاهدت العدو مجاهدة وجهادا Yang merupakan turunan dari kata الجهد yang berarti: kesulitan atau kelelahan karena melakukan perlawanan yang optimal terhadap musuh .
Makna Jihad Menurut Istilah: Dalam terminologi syar`i kata jihad mempunyai beberapa makna:
Suatu usaha optimal untuk memerangi orang-orang kafir. Para fuqaha mengungkapkannya dengan defenisi yang lebih rinci, yaitu: suatu usaha seorang muslim memerangi orang kafir yang tidak terikat suatu perjanjian setelah mendakwahinya untuk memeluk agama Islam, tetapi orang tersebut menolaknya, demi menegakkan kalimat Allah.
Makna umum dari kata jihad dalam terminologi syar`i. Bila kata jihad dimaksudkan untuk makna selain dari makna diatas biasanya diiringi dengan sebuah kata lain sehingga konteks dari kalimat tersebut mengindikasikan makna yang dituju dari kata jihad tersebut, ini berarti setiap kita menemukan kata jihad dalam Al-Qur`an dan sunnah konotasinya adalah memerangi orang kafir dengan senjata.
      Usaha optimal untuk mengendalikan hawa nafsu dalam rangka mentaati Allah atau lebih dikenal dengan (mujahadatun nafsi), seperti makna kata jihad dalam sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam

المجاهد من جاهد نفسه في طاعة الله
Seorang mujahid adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya untuk mentaati Allah [4]
Selain dua makna diatas adalah seperti makna kata jihad dalam sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, ketika seorang pemuda meminta izin beliau untuk berjihad dan beliau menanyakan, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?", ia menjawab," Ya", beliau bersabda," ففيهما فجاهد optimalkanlah baktimu terhadap mereka. H.R.Bukhari.

Opini Yang Salah Tentang Maksud "Jihad Akbar"

Ada sebuah opini yang berkembang di tengah masyarakat Islam hampir di seluruh belahan dunia Islam, bahwa jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu (Mujahadatun nafsi) sedangkan jihad mengangkat senjata melawan orang kafir hanyalah jihad kecil, biasanya ungkapan ini disertai dengan menyitir sebuah hadist Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, sepulang beliau dari sebuah peperangan melawan orang kafir,
قدمتم خير مقدم، وقدمتم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر، مجاهدة العبد هواه
Kalian datang dari melakukan suatu amal yang paling baik, dan kalian datang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar, yaitu: seorang hamba melawan hawa nafsunya.[5]
Opini ini perlu diberi catatan dari beberapa sisi:
- hadits yang dijadikan landasan opini diatas "mardud" didhaifkan oleh banyak ulama hadist, diantaranya; Al Baihaqi, Al Iraqi dan As Suyuthi dalam Al Jami` As Shaghir, dikarenakan seorang perawinya yang bernama Yahya bin Al `Ala` seorang yang tertuduh sebagai pemalsu hadits seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar dalam "Taqrib at tahzib". [6] Jadi pembagian jihad kepada; jihad ashghar dan jihad Akbar tidak mempunyai dalil yang kuat.
- Makna jihadun nafsi terlalu luas, sebagian orang memahaminya dengan terminologi masing-masing, andai maksudnya membersihkan jiwa dengan zikir, wirid-wirid khusus dan amalan-amalan sunnat tentulah jihad memerangi orang-orang kafir lebih mulia disisi Allah, (Q.S. An Nisaa` :95-96)
﴿ وفضل الله المجاهدين على القاعدين أجرا عظيما . درجات منه ومغفرة ورحمة وكان الله غفورا رحيما
Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tidak ikut berjihad dengan pahala yang besar. Beberapa derajat dari Allah, maghfirah dan rahmat-Nya, adalah Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang
            Namun jika yang dimaksud dengan jihadun nafsi mengendalikan jiwa untuk selalu merealisasikan tauhid, kafir terhadap thaghut dan komitmen dengan seluruh syari`at Allah, tidak dapat diingkari bahwa jihadun nafsi adalah asas dan jihad memerangi kekafiran merupakan salah satu hasil dari jihadun nafsi. Implikasinya bahwa orang yang sukses dalam jihad memerangi orang kafir dengan meraih syahadah yang dapat memberikan syafa'at untuk 72 orang anggota keluarganya dan kekal dalam surga Allah hanyalah orang yang berhasil melewati fase awal jihad, yakni jihadun nafsi.
Inilah makna ungkapan Ibnu Al Qayyim, " Manakala jihad memerangi musuh-musuh Allah (orang-orang kafir) hanya bagian dari jihad nafsi dalam merealisasikan tauhid … maka jihadun nafsi lebih diprioritaskan dari pada jihad mengangkat senjata menumpas kekafiran. [7]
- Ungkapan "jihad akbar adalah jihadun nafsi" sering disalah gunakan untuk mengecilkan peran orang yang memanggul senjata mengorbankan anak, isteri dan harta benda demi tegaknya kalimat Allah, bahkan untuk melemahkan dan menghalangi orang berjihad fi sabilillah, dengan mengatakan bahwa menyibukkan diri dengan jihad akbar lebih afdhal, padahal andai kita mencermati dengan seksama tentunya kita akan mengambil kesimpulan bahwa konsisten dengan jihadun nafsi mengharuskan kita untuk berjihad fi sabilillah jika memang waktunya telah tiba

Fase-Fase Di Syari`atkannya Jihad
            Jihad salah satu diantara ibadah yang dalam proses tasyri`nya mengikuti sunnah tadarruj (bertahap), yang dapat kita bagi menjadi 4 fase:
a. Periode Mekah.
Dalam periode ini jihad dengan mengangkat senjata tidak disyari`atkan, yang diperintahkan pada periode ini adalah jihad dengan menggunakan hujjah dan argumen yang bersumber dari Al qur`an dalam menyampaikan risalah Islam kepada manusia pada umumnya dan khususnya masyarakat Quraisy, Allah berfirman, (Q.S. Al Furqan: 51-52)
﴿ ولو شئنا لبعثنا في كل قرية نذيرا . فلا تطع الكافرين وجاهدهم به جهادا كبيرا ﴾
Dan andai Kami menghendaki, niscaya Kami utus di tiap-tiap negeri seorang Rasul. Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan jihad yang besar
Ibnu qayyim berkata, "Allah telah memerintahkan berjihad sejak periode Mekah dengan firman-Nya (Q.S. Al Furqan: 52) yang tentunya surat Makkiyah, menghadapi orang-orang kafir dengan Hujjah, penjelasan dan menyampaikan Al qur`an …" [8]
Bahkan ketika beberapa orang sahabat yang dipimpin oleh Abdurrahman bin `Auf datang kepada Nabi mengeluhkan keadaan mereka sambil berkata,"Kami dahulu berada dalam kemuliaan disaat kami masih musyrik, apakah kami menjadi hina setelah kami beriman?!", Nabi menjawab,
إني أمرت بالعفو فلا تقاتلوا
Aku diperintahkan untuk mema`afkan, maka janganlah kalian mengangkat senjata! [9]
Juga setelah selesai pembai`atan `Aqabah yang ke dua sebagian para peserta yang datang dari Yastrib meminta izin dari Nabi untuk menyerang penduduk `Aqabah dengan pedang, beliau menjawab, ""إني لم أؤمر بهذا aku tidak diperintahkan untuk melakukan hal ini [10]
Dalam (Q.S. An Nisaa` :77) Allah mempertegas larangan mengangkat senjata di periode Mekah, firman-Nya:
﴿ ألم تر إلى الذين قيل لهم كفوا أيديكم وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة ﴾
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!
            Nushus diatas sangat jelas bahwa selama periode Mekah jihad mengangkat senjata dilarang (hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Qurthubi 2/347). Yang ada hanya jihadun nafsi menanamkan aqidah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, sabar dan istiqamah menghadapi segala bentuk penindasan dari kaum kafir serta yakin dengan janji Allah dan Rasul-Nya.
Tidak-disyaria`tkannya jihad mengangkat senjata dalam periode ini -yang dalam pandangan kasat mata kebanyakan manusia juga termasuk sebagian sahabat hal itu telah patut karena penindasan kaum Quraisy sampai pada titik diluar batas kewajaran- tentulah mempunyai hikmah yang sangat dalam untuk keberlangsungan dakwah islamiyah keseluruh penjuru bumi. [11]
b. Fase dibolehkan Jihad Qital dan belum difardhukan.
            Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, menetap di sana membangun sebuah negeri Islam yang berdaulat dan memiliki kekuatan, persiapan dan peralatan yang dirasa cukup untuk menghadapi setiap gangguan, yang dilain pihak kaum kafir Quraisy selalu melancarkan berbagai bentuk tekanan, maka Allah membolehkan (bukan difardhukan) kaum muslim mengangkat senjata, membela dan mempertahankan jiwa dan dakwah Islam dari segala bentuk penindasan, dengan firman-Nya: (Q.S. Al Hajj: 39)
﴿ أذن للذين يقاتلون بأنهم ظلموا وإن الله على نصرهم لقدير ﴾

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka
c. Fase difardhukan jihad qital atas kaum muslim terhadap orang yang memulai memerangi mereka .
            Fase ini juga bisa dinamakan dengan jihad difa` (berperang karena membela diri), yakni kaum muslim diwajibkan mengangkat senjata memasuki medan pertempuran melawan setiap kekuatan yang memulai menabuh genderang perang terhadap mereka, Allah berfirman, (Q.S. Al Baqarah: 190-191)
﴿ وقتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين ﴾
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas
﴿ فإن قتلوكم فاقتلوهم كذلك جزاء الكفرين ﴾
Maka jika mereka memerangi kamu, maka bunuhlah mereka! Demikianlah balasan bagi orang-orang yang kafir
            Pada periode ini sekalipun kaum muslim telah mempunyai kekuatan tetapi belum sanggup memulai pertempuran menghadapi seluruh kekuatan kafir dan musyrikin, maka dengan hikmah Allah, Dia tidak mewajibkan kepada hambanya untuk melakukan penyerangan karena mereka belum mampu melaksanakannya.
d. Fase difardhukan jihad qital terhadap setiap kekuatan kufur apapun agama dan ras mereka, sekalipun mereka tidak memulai berperang hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah.
            Setelah kekuatan kufur di kota Mekah runtuh di tangan 10.000 orang sahabat yang dipimpin langsung oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, dengan ini berarti berakhirlah permusuhan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin dan manusia berbondong-bondong memeluk agama Allah sehingga dakwah islam menjadi memiliki banyak pasukan dan peralatan serta kekuatan, maka pada tahun ke-9 H Allah mewajibkan kaum muslim memerangi setiap bentuk kekufuran dengan firman-Nya, (Q.S. At Taubah: 5 dan 36)
﴿ فإذا انسلخ الأشهر الحرم فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم ﴾
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka
﴿ وقتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة ﴾
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya
Dan nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
Aku diperintahkan memerangi seluruh manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak diibadati selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah HR.Muslim
Demikianlah jihad thalab (jihad memerangi setiap aral yang merintangi arus dakwah islam) akhirnya difardhukan dan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat kewajiban ini tidak berubah. Kemudian kewajiban jihad thalab ini diteruskan oleh para khulafaur rasyidin dan para khalifah serta para penguasa setelah mereka. Hingga akhirnya khilafah Utsmaniyah runtuh kurang dari satu abad yang lalu dan kewajiban inipun terhenti sementara sampai kaum muslim memiliki kembali kekuatan untuk menumpas segala bentuk kesyirikan dan kekufuran.
Hukum jihad
Jihad memiliki beberapa hukum :
a. Fardhu `ain (wajib bagi setiap muslim) dalam beberapa kondisi;
- ketika seorang muslim telah berada dalam barisan pasukan yang sedang menghadapi pertempuran, maka fardhu `ain bagi nya berjihad dan berdosa meninggalkan medan, Allah berfirman, (Q.S. Al Anfaal: 45)
يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم فئة فاثبتوا
Hai orang-orang beriman apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka tetaplah
﴿ يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم الذين كفروا زحفا فلا تولوا هم الأدبار ﴾
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu mundur ( Al Anfaal :15)
- bila musuh telah datang menyerang salah satu negeri muslim, maka wajib bagi setiap penduduknya berjihad mengusir mereka. Jika musuh belum tertumpas wajib `ain bagi setiap penduduk negeri muslim sekitarnya berjihad hingga musuh keluar dari negeri tersebut. Allah berfirman (Q.S. At Taubah :123)
﴿ يا أيها الذين آمنوا قاتلوا الذين يلونكم من الكفار ﴾
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang berada disekitar kamu itu
Jihad ini disebut juga dengan jihad difa` (pembelaan diri)
- bila imam (pemimpin) memerintah seorang muslim untuk pergi berjihad, maka wajib `ain baginya melaksanakn perintah tersebut, nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
وإذا استنفرتم فانفروا
Bila kamu diperintahkan berjihad, maka pergilah berjihad H.R.Bukhari.
b. Fardhu kifayah
Jihad thalab (memulai penyerangan terhadap sebuah negeri yang penduduknya tidak beriman kepada Allah dan hari akhir) hukumnya fardhu kifayah, yang bila dilakukan oleh sebagian kaum muslim terhapuslah dosa dari seluruh kaum muslim, Allah berfirman, (Q.S. At taubah: 122)
﴿ وما كان المؤمنون لينفروا كافة ﴾
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin pergi semuanya ke medan perang
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
والذي نفسي بيده لولا أن رجالا من المؤمنين لا تطيب أنفسهم أن يتخلفوا عني، ولا أجد ما أحملهم عليه ما تخلفت عن سرية تغزو في سبيل الله والذي نفسي بيده لوددت أني أقتل في سبيل الله ثم أحيا ثم أقتل ثم أحيا ثم أقتل ثم     Perlu digarisbawahi bahwa hukum diatas berlaku manakala kaum muslim mempunyai negeri islam berdaulat yang menerapkan hukum-hukum Allah dan dipimpin oleh seorang muslim sejati serta memiliki kekuatan, peralatan dan perlengkapan yang dirasa mampu untuk menegakkan jihad difa` maupun jihad thalab. Namun disaat kaum muslim tidak mempunyai negeri Islam, para pemimpinnya mencampakkan hukum Allah dan kekuatan serta peralatan perangnya tidak sampai seujung kuku kekuatan musuh, maka hukum diatas tidak berlaku, bahkan lebih dari itu, kaum muslim dibenarkan membayar upeti kepada musuh jika memang keadaannya menuntut demikian, hal ini dijelaskan oleh para ulama mazhab [12].
            Ibnu Taimiyah berkata," Kaum mukminin yang berada di sebuah negeri dan mereka tidak mempunyai kekuatan (lemah) maka hendaklah mereka mengamalkan ayat yang memerintahkan tetap sabar dan memberi maaf terhadap orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya baik dari Ahlul kitab maupun orang musyrik, sedangkan kaum mukminin yang mempunyai kekuatan maka mereka wajib mengamalkan ayat yang memerintahkan memerangi para pemimpin kekufuran dan ayat yang memerintahkan memerangi ahlul kitab hingga mereka mau membayar jizyah (upeti) dan mereka dalam keadaan yang hina …[13]"
Hal yang senada dengan perkataan diatas yaitu perkataan Az Zarkasyi dan As Suyuti bahwa bilamana umat Islam melewati masa dan keadaan yang sama dengan masa dan keadaan periode Mekah maka sepatutnya mereka mengamalkan ayat-ayat yang diperintahkan untuk sabar dan memaafkan dan terus mendakwahi setiap musuh dengan cara yang sebijak mungkin.[14]          Implikasinya ayat-ayat sebelum ayat "saif" dalam surat At taubah tidak dimansukhkan tetapi diamalkan manakala kondisi yang serupa terjadi pada umat Islam.
Jihad terus berlangsung hingga akhir zaman
            Jihad sebagai salah satu dari sekian banyak kewajiban yang difardhukan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, sudah menjadi keyakinan kita bahwa seluruh syari`at itu terus berlangsung dan sangat relevan, kapanpun dan dimanapun seorang muslim berada. Tidak satupun syari'at dimansukhkan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat, berdasarkan dalil-dalil di bawah ini;
- sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiallahu `anhu
لا تزال طائفة من أمتي يقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة
Senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran selalu menang hingga hari kiamat. H.R.Muslim
- sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu `anhu,
والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر ولا عدل عادل
Dan jihad terus berlangsung semenjak Allah mengutusku hingga akhir umatku memerangi Dajjal [15]
Dari dua teks hadist di atas sangat jelas bahwa kewajiban berjihad tetap terus berlangsung hingga akhir zaman.
- firman Allah swt ( Q.S. Al Anfaal: 39)
﴿ وقاتلوهم حتى لا تكون فتنة ويكون الدين كله لله فإن انتهوا فإن الله بما يعملون بصير ﴾
Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
- firman Allah swt (Q.S. At Taubah: 33)
﴿ هو الذي أرسل رسوله بالهدى و دين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.
Dua ayat di atas menjelaskan bahwa jihad harus selalu ditegakkan sampai tercapainya tujuan yang diinginkan Allah, yaitu sirnanya setiap kesyirikan dan kekufuran, dan tiada agama lain di atas permukaan bumi kecuali agama Allah. Impilkasinya selagi kedua tujuan di atas belum tercapai maka jihad harus terus berlangsung.
gkan bahwa jihad terus berlangsunmenjelas hingga akhir ya dalil ya Kuatn zaman menyebabkan Imam At Thahawi dalam buku akidahnya mengatakan, "Haji dan jihad terus berlangsung bersama para pemimpin kaum muslim yang adil maupun yang lalim hingga terjadinya kiamat, dua kewajiban ini tidak pernah digugurkan".[16]
 (tolong disusun dulu, bi)
Keberlangsungan jihad hingga akhir zaman ini tidaklah bertentangan dengan realita umat islam saat ini yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan hal tersebut, karena Allah swt berfirman (QS Al Baqarah : 286)
﴿ لا يكلف الله نفسا إلا وسعها ﴾
            Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya
Saat kaum muslimin telah mempunyai kesanggupan untuk menjalankan kewajiban jihad maka mereka berdosa jika meninggalkannya.


B. AHL AL-DZIMMAH

Dari pengertian jihad di atas dipahami bahwa jihad adalah memperjuang Islam dari ancaman orang-orang kafir. Setelah berjihad atau selama berjihad Islam mempunya tata pergaulan sebagaimana yang akan dibahas dalam bab ini.
Dalam hidup berdampingan dengan non muslim Islam mengatur tata hubungan dngan mereka. Diantara non muslim tersebut adalah ahl al-dzimmah. Hukum orang musta’min pada dasarnya sama dengan hukum ahl adz-dzimmah. Jika dia membutuhkan pertolongan, misalnya jiwanya terancam, negara wajib melindunginya sebagaimana negara melindungi ahl adz-dzimmah. Jika musta’min melakukan kejahatan, dia akan dikenai sanksi sebagaimana ahl adz-dzimmah, kecuali sanksi peminum khamr. Hal ini karena Darul Islam adalah tempat diterapkannya hukum-hukum syariat secara tanpa pandang bulu, baik terhadap orang islam, ahl al-dzimmah, maupun musta’min (An-Nabhani,1994:235)
Ahl adz-dzimmah kadang disebut juga kafir dzimmi atau sering disingkat dzimmi saja. Asal katanya adalah adz-dzimmah, yang berarti al- ‘ahd, bermakna perjanjian. Ahl adz-dzimmah adalah setiap orang yang beragama bukan Islam dan menjadi rakyat negara Khilafah (Daulah Islamiyah). Islam telah menjelaskan banyak hukum tentang ahl adz-dzimmah ini. Bahkan di antara ulama ada yang menulis kitab khusus mengenai hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ahl adz-dzimmah. Misalnya Ibn Qayyim al-Jawziyah, yang menulis kitab Ahkam Ahl adz Dzimmah.
Di antara hukum-hukum tersebut adalah:
1.       Ahl adz-dzimmah tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka guna masuk Islam. Rasulullah saw. telah menulis surat untuk penduduk Yaman (yang artinya), “Siapa saja yang beragama Yahudi atau Nashara, dia tidak boleh dipaksa meninggalkannya, dan wajib atasnya jizyah. (HR Abu Ubaid). Hukum ini juga berlaku untuk kafir pada umumnya, yang nonYahudi dan non-Nashara. Dengan demikian, ahl adz-dzimmah dibebaskan menganut akidah mereka dan menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka.
2.       AhI adz-dzimmah wajib membayar jizyah kepada negara. Jizyah dipungut dan ahl dzimmah yang laki-laki, balig, dan mampu; tidak diambil dari anak-anak, perempuan, dan yang tidak mampu. Abu Ubaid meriwayatkan bahwa Umar r.a. pernah mengirim surat kepada para amir al-Ajnad bahwa jizyah tidak diwajibkan atas perempuan, anak-anak, dan orang yang belum balig. Syarat kemampuan diambil dari firman Allah Swt. dalam surat at-Taubah ayat 29 yang berbunyl ‘an yadin yang bermakna ‘an qudratin. Maksudnya, jizyah diambil berdasarkan kemampuan. Bahkan, bagi yang tidak mampu, misalnya karena sudah tua atau cacat, bukan saja tidak wajib jizyah, tetapi ada kewajiban negara (Baitul Mal) untuk membantu mereka. Pada saat pengambilan jizyah, negara wajib melakukannya secara baik, tidak boleh disertai kekerasan atau penyiksaan. Jizyah tidak boleh diambil dengan cara menjual alat-alat atau sarana penghidupan ahl dzimmah, misalnya alat-alat pertanian atau binatang ternak mereka.
3.       Dibolehkan memakan sembelihan dan menikahi perempuan ahl adz-dzimmah jika mereka adalah orang-orang Ahlul Kitab, yaitu orang Nashara atau Yahudi. Allah Swt. Berfirman:
Makanan(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab halal bagimu dan makanan (sembelihanmu) kamu halal bagi mereka. Demikian pula perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu. (QS Al-Maidah [5]:5)

Akan tetapi, jika ahl adz-dzimmah bukan Ahlul Kitab, seperti orang Majusi, maka sembelihan mereka haram bagi umat Islam. Perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Dalam surat RasuL saw. yang ditujukan kepada kaum Majusi di Hajar, beliau mengatakan, “Hanya saja sembelihan mereka tidak boleh dimakan; perempuan mereka juga tidak boleh dinikahi”

Sementara itu, jika Muslimah menikahi laki-laki kafir, maka hukumnya haram, baik laki-Laki itu Ahlul Kitab atau bukan. Allah Swt. berfirman:
Jika kamu telahmengetahui bahwa mereka adalah (benar-benar) wanita-wanita Mukmin, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Tidaklah mereka (wanita Mukmin) halal bagi mereka (lelaki kafir) dan mereka pun (lelaki kafir) tidak halal bagi mereka (wanita Mukmin). (QS al-Mumtahanah [60]: 10).
4.       Boleh dilakukan muamalah antara umat Islam dan ahl adz dzimmah dalam berbagai bentuknya seperti jual-beli, sewa-menyewa (ijarah), syrkah, rahn (gadai), dan sebagainya. Rasulullah saw. Telah melakukan muamalah dengan kaum Yahudi di tanah Khaybar, di mana kaum Yahudi itu mendapatkan separuh dari hasil panen kurmanya. Hanya saja, ketika muamalah ini dilaksanakan, hanya hukum-hukum Islam semata yang wajib diterapkan; tidak boleh selain hukum-hukum Islam (an-Nabhani, 1994:237-240)
Demikianlah sekilas hukum-hukum ahl adz-dzimmah yang menjadi rakyat Daulah Islamiyah. Mereka mendapatkan hak sebagaimana rakyat lainnya yang Muslim. Mereka mendapatkan hak untuk dilindungi, dijamin penghidupannya, dan diperlakukan secara baik dalam segala bentuk muamalah. Kedudukan mereka sama di hadapan penguasa dan hakim. Tidak boleh ada diskriminasi apa pun yang membedakan mereka dengan rakyat yang Muslim. Negara Islam wajib berbuat adil kepada mereka sebagaimana berbuat adil kepada rakyatnya yang Muslim